Pages

Senin, 11 Maret 2013

Ideologi Kritis Chavez di Timur Tengah


Ideologi Kritis Chavez di Timur Tengah
Muhammad Ja’far  ;  PENGASUH WWW.TIMUR-TENGAH.COM
KORAN TEMPO, 08 Maret 2013
  

Pada 18 November 2007 berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Riyadh, Arab Saudi. Presiden Venezuela Hugo Chavez mendapat kesempatan berpidato. Begini salah satu isinya: "OPEC harus bangkit dan bertindak sebagai pengawal dalam menumpas kemiskinan di dunia. OPEC semestinya lebih sebagai agen geopolitik aktif dan menuntut penghargaan lebih bagi negara-negara anggota, serta meminta negara-negara Barat tidak lagi mengancam OPEC." Chavez ingin OPEC keluar dari dependensi dan subordinasi Barat. 
Dalam pidato selama 25 menit itu, Raja Arab Saudi sekaligus tuan rumah konferensi, Abdullah, tegang bukan kepalang. Raut wajahnya memerah. Abdullah sadar, pernyataan keras Chavez ditujukan bukan hanya kepada Amerika Serikat dan negara Eropa, tapi juga dirinya, yang bermitra setia dengan Gedung Putih. 
Kegerahan Abdullah semakin memuncak tatkala, pada bagian lain pidatonya itu, Chavez menegaskan bahwa harga minyak mentah bisa mencapai US$ 200 per barel apabila AS menyerang Iran atas alasan senjata nuklir. Saat itu, harga minyak dunia sudah menembus US$ 100 per barel. Abdullah lagi-lagi jadi sasaran kritik Chavez itu, karena selama ini Saudi melakukan tekanan intensif ke Teheran melalui Gedung Putih.
Konon, seusai pidato, kalimat yang keluar dari mulut Abdullah kepada Chavez hanya satu:"Kamu sedikit berlebihan!'' Memang begitulah Chavez. Tak ada tedeng aling-aling ketika mengkritik kapitalisme yang dianggap telah menciptakan ketidakadilan tata ekonomi-politik global. Secara satiris, dalam peringatan Hari Air Sedunia pada 2011, ia pernah mengatakan bahwa kapitalisme bahkan telah membunuh peradaban di planet Mars. Kritik yang ditujukan pada nalar kapitalis yang eksploitatif terhadap ekosistem. Chavez seorang peterus-terang. Tak begitu sabar dengan lekuk-lekuk hermeneutika diplomasi.
Sebagai pemimpin negara penghasil minyak, Chavez sadar betul vitalnya sumber daya alam tersebut sebagai daya tawar. Minyak strategis sebagai alat komunikasi, diplomasi, dan daya tawar politik. Terutama dalam konstelasi politik global yang sangat timpang seperti sekarang. Minyak bisa menjadi kekuatan strategis bagi negara yang tersubordinasi, untuk meneguhkan eksistensi politiknya. 
Karena itu, Chavez aktif membangun aliansi dengan negara-negara Timur Tengah, kawasan terbesar penghasil minyak dunia. Tapi hambatannya sangat besar. Sebab, hanya empat negara di kawasan tersebut yang tidak berafiliasi politik-ekonomi dengan AS: Iran, Libanon, Suriah, dan Irak. Selainnya, negara-negara Timur Tengah terikat relasi "politik minyak" yang kuat dengan Gedung Putih dan Eropa. 
Chavez mencoba mengeluarkan negara Timur Tengah dari nalar ini. Hal ini dimaksudkan agar, dengan kekuatan minyaknya, mereka keluar dari dependensi politik, bukan justru terjerat di dalamnya. Chavez kerap mengkritik keras Liga Arab, yang dianggap tidak memiliki taji untuk menunjukkan independensinya. Malah memuluskan kepentingan politik AS yang disebutnya imperialistik.
Kesamaan ideologi kritis inilah yang membuat Chavez sangat dekat dengan Iran. Mahmud Ahmadinejad, Presiden Iran, memiliki karakter kepemimpinan dan paradigma kritis yang serupa. 
Ideologi kritis yang dipikul Chavez, dan hendak ia tularkan ke kawasan Timur Tengah, tidaklah berangkat dari ruang kosong. Ada basis epistemologisnya. Dalam batas tertentu, ini terlihat dari relasi ideologisnya dengan Ahmadinejad. Chavez mendasarkan ideologi kritisnya pada sosialisme. Nalar sosialisme mengkritik keras paradigma kapitalistik. Sementara Ahmadinejad bersandar pada prinsip ajaran Islam yang secara tegas berpihak kepada keadilan dan menyerukan pembelaan atas kalangan tertindas.
Jadi, Chavez dan Ahmadinejad sama-sama ingin agar dunia dibangun di atas moralitas keadilan dan etika kesederajatan. Baik dalam politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Tak boleh ada dominasi, hegemoni, diskriminasi, apalagi imperialisme, satu negara atas yang lainnya. Baik Chavez maupun Ahmadinejad mengkritik ideologi kapitalis yang secara sistemik dianggap problematis: tidak berspirit keadilan dan egalitarianisme. 
Secara praktikal, AS dianggap sebagai representasi paling sempurna dari problematisnya ideologi kapitalistik. Sikap politik AS cenderung hegemonik, menempatkan negara lain di bawah subordinasinya. Kritik keras Chavez dan Ahmadinejad terhadap AS adalah perlawanan simbolis atas praktek kapitalisme. 
Chavez selalu menunjukkan sikap kritis dan penentangan terhadap praktek politik hegemonik AS di Timur Tengah. Beberapa di antaranya adalah:
Pertama, Chavez menentang keras invasi ke Irak oleh pasukan Internasional pimpinan AS pada 2003, sebagai bentuk intervensi politik dan militer sepihak. Chavez memberikan dukungan moril politik kepada Saddam Hussein untuk melawan infiltrasi politik AS di dalam negerinya. 
Kedua, Chavez menunjukkan pembelaan penuh atas pengembalian hak politik dan geografis rakyat Palestina. Sebaliknya, terhadap Israel, Chavez sangat kritis. "Israel banyak mengkritik Hitler, begitu pun kita. Namun mereka melakukan sesuatu yang mirip, bahkan lebih buruk, daripada apa yang dilakukan oleh NAZI," kata Chavez saat melakukan kunjungan diplomatik ke Iran pada 2006. Pada 6 Januari 2009, pemerintah Venezuela mengusir Duta Besar Israel untuk Caracas, Shlomo Cohen, sebagai bentuk protes serangan militer Israel di Jalur Gaza.
Ketiga, terkait dengan sanksi embargo yang diterapkan pada Iran, Chavez menentang keras keputusan tersebut. Baginya, Iran memiliki hak politik dan sains untuk mengembangkan potensi nuklir, tanpa harus disudutkan dengan isu senjata nuklir. Venezuela merupakan satu dari sedikit negara yang tetap melanjutkan kerja sama dengan Iran, di tengah-tengah tekanan embargo ekonomi.
Keempat, Chavez menentang keras intervensi militer NATO ke Libya untuk menjatuhkan Muamar Qadhafi. Aksi itu dituduhnya melanggar hukum internasional. Chavez menuding ada misi tersembunyi di baliknya: merampok minyak Libya bernilai US$ 200 miliar. Chavez ragu terhadap masa depan Libya pasca-Qadhafi. Menurut dia, wakil baru Libya di PBB pasca-Qadhafi hanyalah manekin, boneka untuk menggantung pakaian di dalam etalase. Kepanjangan tangan kepentingan kekuatan kapitalis. 
Kelima, pada Oktober 2011, Menteri Luar Negeri Venezuela dan Kuba memimpin kunjungan delegasi negara sayap-kiri Amerika Latin ke Suriah. Kunjungan tersebut merupakan bentuk dukungan atas Presiden Assad, yang dalam perspektif politik luar negeri Venezuela merupakan korban sikap politik kooptatif AS dan sekutunya. Chavez mengecam rencana intervensi politis dan militer ke Suriah. Juga pemanfaatan kelompok oposisi Suriah untuk menjatuhkan Assad. Menurut Chavez, Assad sedang akan dinasibkan sama dengan Qadhafi. Seyogianya masyarakat dunia belajar dari pelabrakan hak-hak politik Qadhafi oleh Barat. 
Wafatnya Chavez merupakan kehilangan besar bagi paradigma ideologi kritis di Timur Tengah dan Amerika Latin. Namun spirit keadilan global yang ditebarkannya sudah banyak menginspirasi berbagai elemen politik global. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar