Pages

Sabtu, 30 Maret 2013

Bawang Merah, Bawang Putih


Bawang Merah, Bawang Putih
Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia  
KORAN SINDO, 24 Maret 2013
  

Di masa sekolah rakyat ibu saya menyelenggarakan sebuah sandiwara anak-anak “Bawang Merah, Bawang Putih”. Di kota kecil Tegal pada waktu itu, ibu saya punya banyak teman. 

Namanya juga kota kecil, jadi hampir semua saling mengenal. Para ibu itu pun mengerahkan anakanak masing-masing untuk menjadi pemain, dan kami, anak-anak pun, berlatih dengan riang di rumah orang tua saya yang kebetulan luas dan lokasinya di tengah kota. Di zaman itu tentunya belum ada sponsor Teh Kotak atau jamu Mustika Perawan. Saya tidak tahu dari mana ibu-ibu itu mendapat dana, tetapi saya duga dari kantong masing-masing, dan bergotong-royong, bekerja sama. 

Belum ada katering, jadi ibu-ibu bikin kue-kue sendiri. Tetapi yang jelas, pertunjukan yang diadakan di Gedung Samudra (gedung pertemuan yang paling hebring di Tegal pada waktu itu), berlangsung meriah. Hampir semua anak Tegal menonton pertunjukan yang diadakan duashift itu. Sampai sekarang pun anak-anak Tegal dari generasi itu (yang masih hidup) yang sesekali bertemu dengan saya, masih ingat akan pertunjukan sandiwara yang “spektakuler” tersebut. 

Buat yang belum tahu, dongeng “Bawang Merah, Bawang Putih” ini berasal dari tanah Melayu (Deli) dan mengisahkan dua orang gadis cantik, bersaudara tiri, yang berperangai sangat berbeda. Bawang Putih adalah gadis yang rajin bekerja, halus perasaan, dan berbakti kepada orang tua. Ayahnya sudah meninggal, sehingga Bawang Putih tinggal bersama ibu tiri dan adik tirinya, Bawang Merah, yang sama cantiknya, tetapi perangainya manja, malas bekerja, dan pendengki. 

Apalagi ibunya sangat memanjakannya. Keduanya, ibu dan anak ini, memperlakukan Bawang Putih lebih kejam dari TKW di Arab Saudi. Pada suatu ketika Bawang Putih mencuci di sungai, salah satu kain ibu tirinya hanyut. Karena takut dimarahi Bawang Putih pun menyusuri sungai seraya bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya apakah melihat kain ibunya yang hanyut. Akhirnya Bawang Putih sampai ke suatu gua yang ditunggui seorang nenek. 

Si nenek tahu di mana kain yang hilang itu, tetapi dia minta supaya Bawang Putih bekerja dulu untuknya. Dasar memang rajin, Bawang Putih menerima tawaran nenek, dan sorenya dia pulang dengan membawa kain dan sebuah labu kecil pemberian nenek. Ketika dia ditawari nenek untuk membawa labu yang lebih besar, Bawang Putih menolak, “Cukup yang kecil saja”, katanya dan dia pun pulang dengan bahagia. 

Tetapi, setiba di rumah Bawang Putih justru didamprat oleh ibu dan saudara tirinya, karena pulang terlambat. Ketika Bawang Putih bercerita tentang nenek dan labu, dia makin dimarahi, karena memilih labu yang kecil. Maka labu pun dibanting, praaak...! Labu pun pecah berantakan. Tetapi, yang keluar dari labu adalah perhiasan intan permata yang tak ternilai harganya (biasa, namanya juga dongeng). 

Akhir cerita pasti bisa ditebak (tidak jauh-jauh dari sinetron yang juga gampang ditebak). Bawang Merah pun pergi ke gua dan minta labu. Dia tidak mau kerja, tetapi mau labu yang besar. Nenek yang baik hati memberikan juga labu besar dan Bawang Merah membawa pulang labu untuk ditunjukkan ke ibunya. Maka labu besar pun dibanting juga, praaak! Labu pun pecah berantakan. 

Tetapi, yang keluar dari labu adalah puluhan ular dan binatang berbisa (tidak usah heran, namanya juga dongeng). Moral dongeng Melayu ini sama dengan moral dongeng Cinderella, karangan novelis Prancis Charles Perrault pada 1697, yang belakangan sangat populer melalui film kartun Walt Disney. Keduanya menggambarkan kejujuran, kebaikan hati, dan rajin bekerja, sebagai moral yang mulia. 

Bedanya, di akhir cerita Cinderella bertemu dan dipersunting oleh pangeran, sedangkan di versi Melayu, tidak ada cinta-cintaan atau pangeran imut, tabu! Jadi berlian dan ularlah ganjaran buat si baik dan si jahat. 
Sesudah peristiwa masa kecil itu puluhan tahun lamanya saya tidak peduli pada bawang-bawangan. Saya memang doyan makan, tetapi makanan adalah urusan ibu saya, istri saya, atau restoran. 

Karena itu sekarang, ketika bawang merah dan bawang putih mencuat sebagai berita, saya baru ngeh bahwa hidup kita bukan hanya tergantung pada nasi (sudah sering sekali jadi isu nasional), tetapi juga pada bawang-bawangan. Saya tidak bisa membayangkan, misalnya bagaimana rasanya martabak telur tanpa bawang. 

Selain itu entah berapa juta orang yang dirugikan karena langkanya bawang merah dan putih ini. Pedagang, pengusaha restoran, distributor, bahkan petani pun ikut rugi karena lahan pertanian tidak bisa dipaksa berproduksi banyak seperti mesin pabrik. Di masa bawang mahal, petani belum panen, atau panen gagal, maka petani tetap gigit jari. Ironisnya, pada saat yang sama, 42,5 ton bawang merah selundupan, di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, akan dimusnahkan. 

Pada saat banyak orang butuh bawang, kok ada bawang-bawang yang mau dimusnahkan? Terlepas dari peraturan dan undang-undang yang berlaku, saya jadi tidak mengerti, bingung (dalam bahasa psikologi: disonan)speechless deh pokoknya. Tetapi setiap disonansi akan mendorong orang untuk berpikir mencari penjelasan. 

Saya yang teringat pada dongeng “Bawang Merah, Bawang Putih” langsung berpikir bahwa di balik semua kisruh perdagangan bawang (dan semua kisruh lain di Indonesia ini) penyebabnya adalah pelaku-pelaku yang tidak bermoral Bawang Putih(?), pedagang tidak jujur (menimbun, menyelundup), pegawai pemerintah malas bekerja (malas turun ke lapangan, ABS), pengusaha membangun tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan, sehingga lahan pertanian banjir, puso, dan ketika ditanya wartawan semua bicara yang baik-baik saja (aman dan terkendali), padahal semua hanya baik di omongan atau di permukaan saja.

Jadi, terlalu banyak orang yang omongannya Bawang Putih, tetapi kelakuannya Bawang Merah, alias munafik atau hipokrit. Kalau setiap pemimpin dan tokoh Indonesia bisa bermental Bawang Putih, dijamin bangsa ini tidak akan semorat-marit seperti sekarang. Apalagi kalau Bawang Putih benar-benar ada dan kita pilih jadi presiden. Nahitubaru... maknyoos!  ●

Chavez dan Mosaik Sosialisme Kerakyatan


Chavez dan Mosaik Sosialisme Kerakyatan
Martin Bhisu SVD ;  Rohaniman: Berkarya di Paraguay
KOMPAS, 14 Maret 2013

  
Hugo Chavez sebelum dan sesudah wafat mendapat perhatian istimewa. Alasan utama: wawasan dan praktik politiknya merupakan tanda perbantahan dari sebuah tatanan yang peninggalannya adalah sebuah mosaik sosialisme kerakyatan.

Eduardo Galeano, penulis prestisius asal Uruguay, pernah menjuluki Amerika Latin sebagai benua dengan urat nadi yang terbuka. Sebuah metafora tentang luka lama benua ini sebagai akibat penjajahan yang ragamnya sekarang disebut neokolonialisme, penjajahan baru. Istilah ini terhubung dengan kondisi Amerika Latin: ibarat sapi perah yang susunya, hasil pertumbuhan ekonomi, dinikmati perusahaan-perusahaan multinasional.

Venezuela bukan kekecualian. Akibat rontoknya boom minyak pada 1970-an, negara vino tinto ini mengalami krisis ekonomi. Presiden Andres Perez waktu itu mengikuti resep dogmatis IMF yang bukan solusi, melainkan problem. Pada akhirnya yang meningkat adalah angka kemiskinan yang memprihatinkan, sementara perdagangan minyak Venezu- ela di tangan perusahaan asing.

Runtuhnya ekonomi mendapat protes masyarakat yang berakhir dengan kudeta militer yang mengusung Chavez pada 1993. Meritokrasi Chavez untuk menyembuhkan urat nadi yang terbuka patut dicemburui pemimpin negara apa pun yang menganggap diri pujangga ekonomi kapitalis.

Menurut laporan Komisi PBB bagi Ekonomi Amerika Latin (CEPAL), Venezuela berhasil menurunkan 44 persen angka kemiskinan: 5 juta jiwa dari total penduduk tidak lagi miskin. Dalam hal kesadaran berdemokrasi, partisipasi elektoral mencapai lebih dari 88 persen penduduk, yang pada pemilu terakhir 55 persen suara untuk Chavez.

Menyangkut anggaran dana sosial, negara-negara sosial demokrat Eropa tak bisa menyaingi Venezuela yang mengalokasikan 60 persen dari total produk domestik bruto. Sebanyak 14 juta penduduk mendapat subsidi pangan, dan tahun ini 61 persen penduduk membeli pangan di pusat- pusat perbelanjaan milik negara. Selama 2011 Chavez menyerahkan 146.022 rumah kepada penduduk paling miskin.

Rekam jejak terpuji di atas menjadikan Chavez seorang pemimpin politik yang diterima di kalangan rakyat kecil dan berhasil memenangi pemilu empat kali beruntun. Sangat lumrah bila ada kelompok yang punya barometer politik ekonomi yang berseberangan dengannya, terutama yang kepentingan mereka dirugikan karena negara mengambil alih kendali PDVSA, perusahaan minyak Venezuela.

Sosialisme Kerakyatan

Chavez pernah mengatakan, ”Tak bisa dimengerti bagaimana dapat mendistribusikan kekayaan negara kalau institusi tak diubah. Apakah ada alternatif lain?” Pertanyaan yang dituntun oleh jawaban yang hendak dicari. Model negara sosialis dan sosialisme kerakyatan merupakan dua pokok penting yang harus tepat diartikulasi menjadi jawaban alternatif terhadap ekonomi laissez- faire.

Negara dengan para pemimpinnya yang dipilih rakyat untuk memerintah atas nama rakyat tidak melayani kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional, melainkan melayani rakyat. Rancang bangun sebuah ekonomi sosial pertama-tama ditempuh Chavez adalah dengan merombak institusi negara yang birokratis dan koruptif menjadi negara sosialis yang kerakyatan. Dalam tahun-tahun pertama, Chavez tak mudah menempuh jalan ini, bahkan kudeta sekelompok militer yang didukung oposisi hampir menjatuhkannya.

Peran negara tidak seperti dalam paham sosialisme terpimpin dan doktriner (model sosialisme bekas Uni Soviet), tetapi memberi peran yang lebih besar, dinamis, dan relevan kepada pemerintah untuk mengatur ekonomi. Dengan PDVSA sebagai jantung ekonomi, Chavez memilih cara klasik: menaikkan permintaan agregat. Artinya, negara mengeluarkan banyak anggaran untuk sektor-sektor pembangunan padat karya sehingga meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan per kapita. Perusahaan swasta dapat untung juga karena saat konsumsi meningkat (faktor yang sangat bergantung pada pendapatan per kapita), permintaan akan barang dan jasa juga meningkat. Akhirnya produksi terdongkrak.

Di samping itu, meningkatnya anggaran dana sosial sangat membantu masyarakat miskin. Politik sosial seperti ini memberi warna khusus bagi Chavez karena mayoritas orang miskin di banyak negara maju sekalipun tak disentuh kebijakan ekonomi pemerintah.

Faktor rakyat sangat menentukan dalam ekonomi sosialis. Selama politik ekonomi yang berciri karitatif dan asistensialistis merupakan pilihan utama, kega- galan mudah diprediksi sebab yang hilang ialah gejala dari kemiskinan, bukan sebabnya. Chavez mengorganisasikan koperasi produktif yang dibantu kredit lunak untuk memberantas sebab kemiskinan. Ke dalam koperasi itu demokratis, ke luar kompetitif sesuai dengan hukum pasar.

Peran pemerintah dan rakyat yang proaktif dalam produksi dan distribusi barang dan jasa sungguh merupakan mosaik ekonomi sosial kerakyatan. Indonesia mungkin tak dapat meniru model ini karena banyak sebab. Di anta- ranya mental kerakyatan yang minim dari pemerintah. Dengan sistem pemerintah yang sangat parlementaristis, kekuasaan eksekutif ke dalam takut akan teka- nan primordial sejumlah golongan; ke luar berkiblat ke negara Barat dan bangsa kita terbiasa dengan apa yang ada.

Sebab kedua adalah kurangnya pengalaman signifikan bagai- mana hidup cukup sejahtera. Kecuali sampai akhir 1980-an, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan secara akumulatif, tetapi ekonomi yang trickle down seperti ini tak menyentuh periuk nasi orang miskin. Berbeda dengan Venezuela, sebelum krisis minyak, pertumbuhan ekonomi berkarakter sosial, dan masyarakat tahu bagaimana dampak positif ekonomi kerakyatan. Hal ini menjadi pembelajaran kolektif yang ujungnya adalah revolusi sosial melawan pemerintah koruptif selama krisis minyak.

Mungkin mosaik sosialisme kerakyatan Venezuela bisa menjadi inspirasi bagi Pemerintah Indonesia mendatang. Namun, ini bergantung sepenuhnya kepada rakyat yang berwawasan sosialis memilih orang yang berpihak kepada kaum jelata. ● 

Darurat Konstitusi Sektor Pangan, Air, dan Energi


Darurat Konstitusi Sektor Pangan, Air, dan Energi
Dewi Aryani ;  Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
SINDO, 14 Maret 2013
  

Pangan, air, dan energi merupakan kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Secara sederhana manusia membutuhkan makan dan air untuk hidup serta butuh energi guna menunjang mendapatkan kedua hal tersebut. 

Geoff Hiscock dalam bukunya, Earth War,menyatakan bahwa ketahanan pangan, air, energi, dan logam merupakan isu utama yang menjadi perhatian berbagai negara di dunia saat ini. Selain karena keberadaannya terbatas, laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat sehingga kebutuhan akan sumber daya pun meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap intensitas perebutan kekuasaan antara negara atas sumber daya. 

China dan India akan menjadi penentu pasar energi di dunia, sedangkan di Asia tenggara pada 2050 menjadi masa keemasan bagi Indonesia, di mana ada bonus demografi diikuti oleh sumber daya yang kaya akan minyak/ gas, termal, batu bara, kelapa sawit, dan pangan (Hiscock, 2012). Krisis air, pangan, dan energi tak terelakkan. Harga pangan akan tetap tinggi dan fluktuatif. 

Begitu pula dengan energi, khususnya minyak dan gas bumi (migas), cadangan minyak diperkirakan 1,2 triliun barel yang diperkirakan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan dunia selama 30 tahun ke depan. Sedangkan untuk air secara global satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum, sementara satu dari tiga tidak mendapatkan sanitasi yang layak. 

Dengan potensi kerentanan itu, perlu kebijakan antisipatif. Pembuat kebijakan harus lebih arif dalam membuat kebijakan terkait ketahanan energi, pangan, dan air, serta jaminan keberlangsungan pada masa akan datang. 

Antisipasi Indonesia 

Tidak berbeda jauh dengan apa yang melanda dunia, Indonesia juga mengalami krisis baik pada pangan, air, maupun energi. Berdasarkan Kepala BNPB, Indonesia akan mengalami krisis air, terutama musim kemarau. Pada 2020 potensi air yang layak diperkirakan sebesar 35% dari total air yang dikelola atau sekitar 400 meter kubik per kapita per tahun. Angka ini tentu jauh dari angka minimum dunia yaitu 1000 meter kubik per kapita per tahun. 

Pada pangan pemenuhan swasembada pangan lima komoditas yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula belum optimal, terlihat dari ada ketergantungan terhadap impor, kedelai sekitar 70%, gula 54%, dan daging sapi sekitar 20%. Selain itu juga permasalahan terkait ketersediaan lahan garapan ratarata petani yang hanya 0.3 hektare. Idealnya petani memiliki lahan garapan seluas 2 hektare, ditambah maraknya ada konversi lahan pertanian, contoh penyusutan lahan pertanian dari 1,550 hektare menjadi 1300 hektare pada 2012. 

Sedangkan pada sektor energi, khususnya minyak bumi, dapat diketahui bahwa konsumsi minyak bumi pada 2010 mencapai 388,241 ribu barel dengan konsumsi per hari rata-rata 1,063,674 barel per hari. Sayangnya, Indonesia hanya mampu memproduksi BBM sebesar 241,2 juta barel sehingga pemerintah masih mengambil kebijakan mengimpor produk BBM sebesar 23,633 juta barel. 

Departemen ESDM pada 2011 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan minyak bumi hampir sebesar 8 miliar barel (7.764,48 MMSTB), di mana 3,7 miliar barel telah terbukti, dan sisanya merupakan cadangan potensial. Ketersediaan minyak bumi tersebut, jika diukur dengan rasio cadangan terbukti terhadap produksi (RP ratio), dapat bertahan selama 12,27 tahun. 

Berdasar pada persoalan di atas, tidak heran jika isu ketahanan pangan dan energi menjadi urgensi tersendiri bagi pemerintah saat ini. Hal ini tercermin dalam program dua tahun kedepan (hingga 2014) yang menekankan ada ketersediaan dan keterjangkauan pangan masyarakat baik harga maupun aksesibilitas dalam membeli produk pangan. 

Amanat Konstitusi 

Berdasarkan undang-undang yang mengatur komoditas strategis ini, di antaranya UU No 30/2007 mengenai energi, UU No 7/2004 mengenai sumber daya air, dan UU No 18/2012 mengenai pangan, dan tujuan bangsa dan negara, ketahanan pangan, serta air dan energi diupayakan berbasis pada kedaulatan dan kemandirian yang sejatinya berupaya untuk mewujudkan kedaulatan nasional yang tangguh. 

Kedaulatan mencerminkan hak menentukan kebijakan secara mandiri, menjamin hak atas sumber daya tersebut, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan kemandirian lebih menekankan pada kemampuan negara memproduksi kebutuhannya di dalam negeri. 

Undang-undang pangan dan energi pun menjelaskan bahwa dapat melakukan impor dengan catatan produksi pangan dan energi tidak mencukupi. Sayangnya, yang terjadi masih tingginya impor pangan dan energi nasional dalam memenuhi kebutuhan. Kembali pada makna yang tersirat dari UUD 1945, sumber daya alam dipergunakan dan dapat dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Jika dipahami lebih dalam, tidak hanya memandang energi, pangan, dan air sebagai sebuah produk yang perlu disediakan, melainkan juga perlu ada kebijakan yang mengarah pada pembangunan dan pengembangan industri pangan, air, dan energi nasional. Dengan demikian, kebijakan yang mengimpor kebutuhan dengan dalih lebih murah bukanlah hal yang tepat karena berkaitan dengan kemandirian negara. 

Dari tiga komoditas strategis yang dibahas, saat ini sektor migas mengalami darurat konstitusi, pola pengelolaan saat ini belum dilindungi secara utuh oleh undang-undang. Darurat konstitusi arahnya kepada mengembalikan lagi semua isi UU dan kebijakan turunannya sesuai kepada UUD 1945 Pasal 33. 

Kata “darurat” menjadi penting untuk dikupas demi menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi dan segala bidang kehidupan jika ketiganya makin langka, musnah, bahkan tidak ada cadangan bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi darurat konstitusi tentu dapat dijadikan peluang bagi berbagai pihak untuk mengambil keuntungan, terutama dalam kontrak eksplorasi dalam sektor migas. 

Pada pangan, kemampuan produksi nasional perlu diimbangi dengan keberadaan lembaga pemerintah sebagai stabilisator harga pangan. Peranan Perum Bulog perlu diperkuat sehingga harga pangan dapat dikendalikan, baik mengurangi fluktuasi harga sekaligus mengantisipasi cadangan pangan untuk kondisi darurat. Setidaknya harga produk pangan strategis seperti beras, jagung, gula, daging sapi, dan kedelai terjangkau oleh masyarakat dan tersedia. 

Ketersediaan ini pula didorong untuk tidak lagi mengimpor dari negara tetangga, tetapi dihasilkan dari pertanian lokal. Pada sektor energi, negara wajib mengambil alih kembali kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Menyiapkan cadangan energi baik untuk cadangan operasional maupun cadangan strategis demi menanggulangi kondisi darurat dan krisis energi. 

Intinya dari permasalahan krisis pada komoditas strategis ini adalah tata pengelolaan sehingga solusi perlu diarahkan mengefisienkan dan mengefektifkan tata kelola sektor-sektor strategis ini. Secara umum terdapat beberapa rekomendasi dalam menyikapi kondisi darurat pangan air dan energi ini. 

Pertama, ada harmonisasi kebijakan pemerintah baik undang-undang hingga keputusan menteri yang terkait dengan pengelolaan sumber daya energi, air, dan pangan. Kedua, ada penguatan kelembagaan dan koordinasi antarlembaga yang terkait, baik perbankan, akademisi, LSM, maupun swasta guna meningkatkan inovasi dan produktivitas sumber daya terkait. Ketiga, ada jaminan ketersediaan khususnya dalam mengembangkan potensi produksi melalui pengembangan teknologi. 

Keempat, keterjangkauan melalui penataan kembali sistem logistik, baik pergudangan, cadangan, perbaikan, maupun pengembangan infrastruktur transportasi. Terutama guna memperpendek supply chain energi, pangan, dan air. Kelima, membangun sistem pengawasan terkait distribusi dari sumber daya energi, pangan, dan air. ●

Kapan Berhenti Jadi Agen Penjualan?


Kapan Berhenti Jadi Agen Penjualan?
J Supranto ;  Ahli Peneliti Utama Bidang Ekonomi dan Manajemen,
Guru Besar Statistik UPI YAI
MEDIA INDONESIA, 14 Maret 2013


SEWAKTU saya mengikuti seminar ilmu pengetahuan di Seoul, Korea Selatan, saya membaca artikel dari majalah lokal dengan judul Korea tidak Mau lagi Menjadi Agen Penjualan Jepang!. Negeri itu memang pernah dijajah Jepang selama 3,5 tahun.

Timbul pertanyaan dalam hati saya, kapan Indonesia berhenti menjadi agen penjualan? Kenyataan menunjukkan Indonesia bukan hanya menjadi agen penjualan barang-barang Jepang, melainkan juga menjadi agen Taiwan, China, Korea, Thailand, Amerika, Jerman, Inggris, Prancis, dan negara Eropa lainnya.

Korea berani sesumbar tidak mau lagi menjadi agen Jepang karena mereka sudah menguasai teknologi, mampu memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi seperti mobil, televisi, komputer, telepon seluler, dan alat untuk mendeteksi jenis penyakit. Korea sebagai produsen memiliki barang. Indonesia sebagai penjual dan sekaligus sebagai pengguna barang karena belum menguasai teknologi. Indonesia juga belum mampu memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi berdasarkan bahan mentah asal negeri sendiri.

Mengapa dan bagaimana agar bisa cepat berhenti menjadi agen penjualan? Selama Indonesia tidak menguasai teknologi dan tidak segera berusaha menguasainya, selamanya akan menjadi agen penjualan, menjadi suruhan bangsa lain. Ini ironis sekali. Setelah mampu menguasai teknologi dan sekaligus mampu memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi, pada saat itulah Indonesia baru bisa berhenti menjadi agen penjualan. Lalu kapan? Eksperimen yang menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi harus dilakukan!

Penelitian melalui eksperimen untuk menghasilkan barang bernilai ekonomi tinggi merupakan proses yang lama dan memerlukan biaya tinggi. Hanya pemerintah dan perusahaan swasta besar yang mampu melakukannya. Menghasilkan barang bernilai ekonomi tinggi yang bisa memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan luar negeri melalui ekspor memerlukan eksperimen atau percobaan-percobaan yang belum tentu berhasil. Artinya barang jadi yang dihasilkan belum pasti bisa diterima pasar/laku dijual. Itu merupakan risiko.

Dalam era globalisasi dengan persaingan bisnis sangat ketat, kiat agar produsen bisa memenangi persaingan harus mampu menghasilkan produk yang mutunya lebih baik, harganya lebih murah, penyerahan lebih cepat, dan pelayanan lebih baik jika dibandingkan dengan pesaing. Untuk melakukan perbandingan itu diperlukan data/statistik guna mengetahui d secara kuantitatif, berapa lebih s murah harganya, berapa lebih cepat penyerahannya, secara rata-rata.

Semua itu dilakukan agar pembeli mendapatkan kepuasan secara menyeluruh (total satisfaction) kemudian menjadi loyal dengan ciri bersedia membeli berkali-kali (repeat order) sehingga penjualan meningkat dan pada gilirannya laba juga akan meningkat. Produsen barang apa saja yang bernilai ekonomi tinggi harus mampu memproduksi barang yang bisa dijual karena memang dibutuhkan pembeli (seperti obat mujarab yang bisa menyembuhkan sakit jantung atau sakit kanker, atau barang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup). Jadi, bukan sekadar menjual barang yang bisa diproduksi.

Perbanyak Penelitian

Seperti telah disebutkan, penelitian bersifat eksperimen memerlukan waktu lama, biaya mahal, dan mengandung risiko, artinya bisa saja gagal. Namun, tanpa melakukan eksperimen yang bisa mengubah bahan mentah (raw material) menjadi barang bernilai ekonomi tinggi, jangan harap bangsa Indonesia mampu menghasilkan barang bermutu yang mampu bersaing di pasar internasional.

Misalnya dengan banyaknya jenis tanaman obat di Indonesia, dan melalui eksperimen, bisa ditemukan obat kanker, penyakit jantung, hingga jenis penyakit lainnya. Pengo batan penyakit tersebut amatlah mahal. Lebih hebat lagi kalau obat ter sebut bisa diekspor, setidaknya ke ne gara-negara tropis.

Di konferensi Colombo Plan di Rangoon (kini Yangon), Myamar, salah satu keputusan nya yang menyangkut kesehatan ialah obat penyakit orang tropis harus dihasilkan di daerah tropis melalui penelitian di daerah tropis pula. Obat yang cocok untuk orang Eropa belum tentu cocok untuk orang yang tinggal di daerah tropis karena daya tahan tubuh nya berbeda. Usahakan melalui eksperimen agar dapat dihasilkan produk yang dibutuhkan tidak saja oleh pasar dalam negeri, tetapi juga luar negeri yang dapat menghasilkan devisa.

Devisa itu dibutuhkan untuk mengimpor bahan mentah atau bahan baku yang masih sangat dibutuhkan tetapi Indonesia belum mampu memproduksinya sendiri. Produk yang dihasilkan melalui eksperimen seharusnya mampu bersaing di pasar internasional atau mampu bersaing dengan produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, bukan produk sembarangan.

Bayangkan kalau Indonesia bisa menghasilkan durian yang manis, tanpa biji atau bijinya kecil/tipis, jeruk manis yang kulitnya kelihatan bersih dan segar/tidak kusam apalagi tanpa biji (seedless). Kita bisa menyaksikan durian monthong dari Thailand di pasar London, Inggris. Kapan Indonesia bisa mengekspor buah-buahan seperti Thailand?
Memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang berlimpah, salah satu kuncinya. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan Amerika. Itu berarti sumber daya manusia berlimpah. Indonesia juga terkenal akan kekayaan alamnya, yaitu laut yang luas dengan berbagai jenis ikan dan tanah yang luas dan subur, penuh dengan berbagai jenis tanaman dan berbagai jenis bahan tambang.

Apakah bangsa Indonesia sudah menikmati semua itu?
Ternyata belum karena masih banyak orang miskin. Kita masih membutuhkan orang-orang bermutu yang melalui eksperimen yang dilakukan bisa mengubah kekayaan alam menjadi barang bernilai ekonomi tinggi.

Serahkan ke Asing

Menurut Michael Porter, penulis buku The Competitive Advantage of Nation, faktor anugerah Tuhan (endowment factors) memang penting. Akan tetapi, lebih penting lagi faktor buatan manusia (man made factors). Sebagai contoh ikan di laut ditangkap dijadikan makanan dalam kaleng (bisa diekspor). Atau emas dibuat perhiasan, minyak bisa diolah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pesawat, mobil, kapal laut, hingga industri. Namun, semua itu harus dilakukan anak bangsa, untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa Indonesia. Bukan malah menyerahkan pengelolaannya kepada bangsa asing seperti sekarang ini. Bangsa ini harus mempunyai tenaga peneliti melalui eksperimen yang mampu mengubah sumber daya alam sebagai bahan mentah ke barang bernilai ekonomi tinggi, untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bangsa Jepang sangat menyadari bahwa tidak semua orang senang meneliti, apalagi melakukan eksperimen/percobaan. Itu sebabnya peneliti haruslah dihargai, kebutuhan hidupnya dipenuhi sehingga bisa konsentrasi penuh dengan tugasnya.

Pemerintah Singapura menawarkan kepada para peneliti agar mendatangkan ahli peneliti dari luar negeri. Berapa pun gaji yang diminta ahli tersebut akan dibayar pemerintah. Jangka waktunya hanya lima tahun dan pemerintah memberi syarat agar dalam waktu tersebut para peneliti Singapura sudah mampu menyerap (know how) ilmu. Cara itu sebenarnya bisa diterapkan di Indonesia asalkan pemerintah punya keinginan. Dengan demikian, Indonesia akan menjual barang produksi sendiri, bukan menjual barang bangsa lain, alias menjadi agen penjualan.

Harga Diri Bangsa

Menjadi agen penjualan bangsa lain memang tidak salah dan bisa dianggap sebagai proses pembelajaran, bagaimana cara memasarkan agar barang laku dijual. Sebagai proses pembelajaran tentu waktunya terbatas. Kalau terus-menerus menjadi agen penjualan milik bangsa lain, pasti harga diri sebagai suatu bangsa akan jatuh karena menjadi pesuruh saja.

Kita sebagai bangsa memerlukan pimpinan yang mampu meningkatkan harga diri bangsa. Jangan membiarkan bangsa ini menjadi pesuruh bangsa lain untuk menjualkan barangnya. Kalau Korea bisa, mengapa Indonesia tidak? 

Titik Keadilan Harga


Titik Keadilan Harga
Ihwan Sudrajat ;  Pengamat Masalah Perekonomian
SUARA MERDEKA, 14 Maret 2013


’’BADAI’’ harga sekarang ini sedang melanda konsumen, padahal kenaikan harga daging sapi belum mereda sejak Lebaran hingga saat ini. 

Kini konsumen harus merogoh kocek lebih dalam lagi, terutama untuk membeli bawang merah dan bawang putih. Harga bawang merah pada Januari hingga minggu pertama Februari masih di bawah Rp 20 ribu per kg, sekarang berlipat hingga Rp 50 ribu, sedangkan harga bawang putih Rp 60 ribu (10/03). 

Dalam bayangan kita, harga tinggi pasti menguntungkan produsen (untuk bawang merah) dan importir (untuk bawang putih). Ketika harga berada pada status menguntungkan maka produsen, pedagang besar, dan importir terus membanjiri pasar dengan produk itu, dan  mulai mengurangi pasokan ke tingkat normal ketika harga kembali wajar. Kenyataannya, harga tinggi acap membuat pedagang merugi karena hanya bisa menjual dalam volume lebih kecil. 

Tak heran, beberapa waktu lalu, sejumlah wanita pedagang daging sapi berdemo ke gubernuran memprotes kenaikan harga komoditas itu. Beberapa pedagang daging berhenti berjualan karena jumlah konsumen berkurang banyak. Pedagang bawang merah pun mengeluhkan penurunan cukup tajam volume penjualan komoditas itu . 

Untuk memperjelas posisi ini, bayangkan Anda sebagai pedagang dengan tingkat omzet yang sudah diketahui. Ekspektasinya, volume penjualan tak akan berbeda jauh, kalau pun ada perubahan, Anda menyiapkan rentang 1-2 hari hingga barang terjual habis. 

Bagaimana bila Anda pada posisi sebagai konsumen? Pada saat harga bawang merah mencapai Rp 50 ribu per kg, kalau Anda berpendapatan tetap, mau tidak mau harus menurunkan volume pembelian karena uang belanja tetap. Jika harga meningkat hingga 200%, Anda pasti membeli pada tingkat minimal, bahkan menghentikan, dan beralih ke produk substitusi seperti bawang bombay yang sepenuhnya impor dan harganya hanya setengahnya. 

Titik Pertemuan

Namun Anda tentu tetap membeli bawang merah pada volume normal meskipun harga meningkat karena menganggap masih dalam batas kewajaran terutama saat Anda menyadari tingkat substitusi bawang merah oleh komoditas lain sangat rendah. Artinya konsumen menganggap bawang merah masih sulit tergantikan. Dari gambaran itu, ternyata sulit menemukan kesepakatan harga ’’adil’’, yakni yang menguntungkan pedagang tapi masih bisa dijangkau konsumen. Definisi harga adil adalah harga yang berada pada keseimbangan, yaitu titik pertemuan antara kekuatan penawaran dan kekuatan permintaan. 

Siapakah yang berani mengambil inisiatif mewujudkan harga yang adil: pedagang atau konsumen? Pedagang tentu tak berani menjual pada tingkat harga konsumen jika itu berisiko membangkrutkan dirinya. Adapun konsumen pasti mengurangi volume pembelian, dan mengembalikan ke volume asal pada saat harga mencapai keseimbangan atau memenuhi harapan mereka. 

Akibatnya, terjadi saling menunggu dan tanpa disadari mereka telah menjadi korban dari tangan-tangan yang tidak tampak (the invisible hand) yang mengatur harga, termasuk mengatursupply and demand.

Pemerintah adalah pihak yang paling diharapkan oleh pedagang atau pun konsumen untuk mewujudkan keadilan harga. Pemerintah secara efektif berhasil mewujudkan harga adil untuk beras karena ada lembaga penyangga, yaitu Bulog yang cepat mempengaruhi pasokan ketika kenaikan harga beras bisa mengganggu kesejahteraan dan mendorong peningkatan orang miskin. 

Untukbawang merah, cabai merah, daging sapi, dan hasil bumi yang lain, pemerintah dapat mengambil substansi dari sistem itu, yakni dengan ’’mengawal’’ kekuatan pasokan. Ada dua faktor yang dapat memperkuat pasokan, pertama; menjamin produksi di hulu, dan kedua; meningkatkan efisiensi distribusi. Untuk faktor pertama, yang terpenting bukan meningkatkan produksi melainkan mendistribusikan produksi secara merata sepanjang tahun dengan hasil produksi yang seimbang dengan permintaan pasar. 

Diperlukan data lengkap dan akurat, terkait antara lain luas areal, waktu tanam, panen di sentra produksi, dan ketersediaan air irigasi di daerah tersebut. Selanjutnya pemda bersama kelompok tani membuat jadwal tanam yang tentunya harus dipatuhi oleh petani anggota kelompok. 

Agar pelaksanaan jadwal tersebut efektif, pemerintah perlu menjamin ketersediaan sarana produksi atau memberi subsidi. Jaminan ini yang akan mengikat mereka, sehingga ketika ada anggota tak mematuhi jadwal tanam, ia bisa dikenai sanksi pembatasan akses sarana produksi. Untuk meningkatkan efisiensi distribusi, pemerintah wajib menyediakan dan memelihara infrastruktur jalan sehingga pendistribusian barang bisa lebih efisien. Pada sentra produksi tertentu perlu disediakan terminal agrobisnis sebagai pusat transaksi sekaligus penyimpanan sementara.  

Sistem ini sebenarnya mulai terlihat di beberapa daerah sentra produksi, namun pemeliharaannya sangat kurang sehingga jaminan produksi di hulu tak bisa dikendalikan, yang berdampak negatif terhadap keseimbangan supply and demand. Tidak mengherankan fluktuasi harga bawang merah dan cabai merah selalu terjadi tiap tahun. 

Konsumen selalu menjerit ketika harga berubah mencekik leher, petani pun tak puas terhadap pemerintah karena harga tiba-tiba merosot tajam akibat produksi berlebihan sehingga mereka tidak tahu lagi ke mana harus memasarkan dan bagaimana mengembalikan modal. 

Rasanya tak adil jika yang dipikirkan hanya nasib produsen, tetapi juga tidak benar jika konsumen ditempatkan pada posisi lebih penting ketimbang produsen. Kedua pihak mempunyai peran sama demi menciptakan keseimbangan antara pasokan dan permintaan, menjaga stabilitas harga, dan mendorong aktivitas ekonomi yang lebih tinggi. Karena itu, penting bagi kita mewujudkan keadilan harga. ● 

Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian?


Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian?
Sri Adiningsih  ;  Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
KORAN SINDO, 15 Maret 2013
  

Tahun 2013 dibuka dengan ingar-bingar masalah hukum yang tidak kunjung selesai, menyita perhatian bangsa Indonesia karena melibatkan berbagai elite politik ataupun penguasa. 

Demikian juga suasana politik sudah mulai menghangat meskipun hajatan pemilu masih tahun depan. Kondisi sosial dan ekonomi tampaknya juga tidak akan steril dari pengaruh politik yang tengah menghangat di Indonesia. Karena itu, kita mesti mewaspadai berbagai perkembangan domestik yang terjadi agar dapat meminimisasi dampaknya pada ekonomi. Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mulai melemah pada tahun lalu. 

Sementara perkembangan ekonomi internasional juga kurang menguntungkan Indonesia. Dampak dari pelemahan ekonomi Eropa yang kontraksi 0,9% pada kuartal keempat pada 2012 serta kenaikan pajak dan penghematan fiskal AS diperkirakan akan menghambat pertumbuhan ekonomi AS serta pelemahan pertumbuhan dua raksasa emerging market di Asia seperti China dan India tidak bisa dihindari oleh Indonesia. 

Ekonomi Indonesia yang terbuka dan masih belum besar saat ini cenderung mudah dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi internasional, khususnya dari negara atau kawasan yang memiliki hubungan ekonomi yang signifikan dengan Indonesia seperti AS, Eropa, China, dan India. Karena itu, kita perlu mewaspadai perkembangan ekonomi internasional 2013 dengan cermat agar dapat meminimisasi dampaknya bagi ekonomi Indonesia.

 Indonesia Economic Review and Outlook (IERO) dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dalam buletinnya edisi Maret 2013 mengulas tentang dampak perkembangan politik pada perekonomian Indonesia sehubungan dengan mulai menghangatnya suhu politik di Indonesia. 

IERO tampaknya mencermati bahwa menghangatnya suhu politik bisa membawa dampak negatif pada perekonomian Indonesia sehingga perlu diwaspadai dan dicermati oleh otoritas, masyarakat, dan dunia usaha agar semuanya ikut mengawasi supaya ekonomi Indonesia tidak banyak terpengaruh oleh perkembangan politik yang ada. 

Apalagi GAMA Leading Economic Indicator juga menunjukkan arah yang negatif, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan masih akan menurun pada kuartal pertama pada 2013. Sementara tulisan “Indonesia’s Economy Tipping the Balance” dari the Economist edisi 23 Februari-1 Maret 2013 mempertanyakan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia, “Gloomy politics, so how long can the bright economics last?

”Tampaknya masyarakat internasional pun melihat masalah publik dan politik yang kurang mendukung ekonomi Indonesia meskipun masih bisa tumbuh 6,2% tahun lalu. Saat ini motor penggerak ekonomi seperti ekspor dan investasi menghadapi tantangan yang berat karena pelemahan ekonomi global dan kebijakan pemerintah yang dianggap memproteksi ekonomi domestik bisa menurunkan FDI. 

Padahal defisit neraca perdagangan barang dan jasa semakin membengkak (padahal dalam 14 tahun terakhir surplus). Dari sisi domestik atau keuangan negara, APBN juga selalu defisit, nilainya cenderung terus meningkat. Jika terjaditwin deficit di Indonesia, dikhawatirkan bisa menghambat pertumbuhan atau pembangunan ekonomi sehingga perlu kebijakan untuk menghindari defisit eksternal dan domestik di Indonesia. 

Ketimpangan yang Membelenggu?

Ekonomi Indonesia yang menghadapi tantangan dan ancaman cukup besar tahun ini bisa menghadapi pelemahan pertumbuhan ekonomi, dapat meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Meskipun jumlah kelas menengah Indonesia menurut data ADB meningkat dari 81 juta 2003 diperkirakan menjadi 150 juta pada 2012, sekitar separuhnya masih berpengeluaran di bawah USD2 per hari per orang dan sekitar tiga perempatnya di bawah USD4 per hari per orang. 

Jika pertumbuhan ekonomi menurun, jumlah penduduk yang menjadi miskin atau miskin lagi akan meningkat dan bisa memicu keresahan sosial. Apalagi ketimpangan kesejahteraan masyarakat (yang diukur dengan Gini Ratio). Indonesia meningkat dari 0,34 pada 2005 menjadi 0,41 pada 2012, di mana peningkatan ketimpangan terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan meskipun tingkat ketimpangan di perkotaan lebih besar dari perdesaan. 

Meningkatnya ketimpangan tingkat kesejahteraan jika dibarengi dengan kemerosotan ekonomi bisa menimbulkan gejolak sosial. Padahal memasuki 2013 suhu politik dan sosial juga sudah mulai menghangat karena mendekati pemilu. Karena itu, Indonesia harus berusaha agar defisit ganda tidak terjadi agar pelemahan ekonomi dapat dihindari. 

Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk mampu menghadapi twin deficitdengan baik (tanpa menimbulkan dampak yang besar). Untuk itu, otoritas ekonomi khususnya pemerintah harus berusaha menghindarinya, keberhasilannya banyak bergantung pada kebijakan pemerintah. Defisit APBN sebenarnya paling mudah untuk dihindari dengan mengurangi subsidi energi yang tahun lalu mencapai lebih dari Rp300 triliun. 

Demikian juga defisit eksternal akan lebih mudah dikendalikan jika pemerintah mendorong agar FDI tetap tertarik ke Indonesia serta meluncurkan berbagai kebijakan atau fasilitas supaya produk lokal dapat bersaing di pasar domestik atau internasional. 

Tentu saja perlu komitmen yang kuat dari semua otoritas ekonomi khususnya pemerintah agar defisit ganda serta ancaman pelemahan ekonomi dapat dihindari. ● 

Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan


Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan
Toto Subandriyo  ;  Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal
SUARA MERDEKA, 15 Maret 2013

  
KEGADUHAN kasus hukum yang membelit sejumlah elite politik di Tanah Air menenggelamkan berbagai berita penting lain, termasuk tentang inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Januari lalu 1,03%, memecahkan rekor inflasi pada bulan yang sama dalam 4 tahun terakhir. Awal Maret lalu BPS kembali mengumumkan bahwa angka inflasi Februari 0,75% tercatat sebagai inflasi tertinggi pada bulan yang sama selama 10 tahun terakhir.

Kenyataan itu selain mengejutkan kita, juga menjadi peringatan dini bagi pemerintah guna menyikapi kondisi lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman, inflasi pada Februari kurang dari 0,5% dengan penjelasan bahwa permintaan masyarakat sudah mulai turun setelah melambung pada pengujung tahun sebelumnya dan awal tahun baru. Selama satu dekade terakhir, inflasi tertinggi pada Februari terjadi pada 2008, yang mencapai 0,65%.

Secara umum inflasi Februari 2013 dipicu oleh kelompok volatile food, seperti bawang putih (0,12%), bawang merah (0,07%), cabai merah (0,04%), dan daging sapi (0,01%). Kondisi seperti ini dipicu oleh kemeroketan harga beberapa komoditas hortikultura beberapa bulan terakhir ini. Kenaikan harga bawang putih 31,38%, cabai merah 12,5%, dan bawang merah 11,3%.

Kelompok volatile food sebagai penyumbang inflasi terbesar dibanding kelompok pengeluaran lain, mengindikasikan bahwa pangan masih merupakan pengeluaran terbesar sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Henri Josserand dari Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia PBB menyatakan inflasi yang diakibatkan kemelambungan harga pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal ini mengingat pengeluaran untuk belanja pangan tidak kurang dari 60% dari total pengeluaran mereka.

Pemerintah harus menyikapi kenyataan ini secara bijak, jangan reaktif dengan membuka seluas-luasnya keran impor. Banyak pihak menilai kondisi pasar seperti sekarang merujuk pada praktik kartel sebagai pukulan balik terhadap kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, guna melindungi petani dan peternak domestik, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan regulasi impor komoditas hortikultura dan daging sapi.

Momentum Kebangkitan

Selain mengurangi kuota impor daging sapi, mulai Januari 2013 pemerintah mengeluarkan larangan sementara impor 13 jenis komoditas hortikultura.
Kemelut harga daging sapi yang hingga kini terus berlangsung merupakan satu contoh ulah para kartelis. Menurut hitung-hitungan di atas kertas, ketersediaan daging sapi dari dalam negeri ditambah impor, sangat mencukupi kebutuhan masyarakat. Namun harga daging sapi tetap tak terkendali sampai hari ini.

Kondisi seperti ini tak sepenuhnya disebabkan oleh buruknya manajemen stok daging sapi tetapi juga merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini sengaja diciptakan para kartelis untuk memukul balik kebijakan Kementerian Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi. Pengurangan kuota impor nyata-nyata memangkas pendapatan mereka. Para kartelis tak peduli jeritan rakyat, yang penting dapat mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan.

Kondisi saat ini harus dijadikan momentum oleh semua pemangku kepentingan pembangunan pangan untuk memperbaiki struktur produksi dan struktur pasar dalam negeri. Secara umum kegencaran impor pangan dan praktik kartel pangan telah merusak sistem pertanian nasional dan menyengsarakan kehidupan petani.

Kemerebakan impor dan penyelundupan bawang putih telah mengubur kisah sukses petani pada sentra produksi bawang putih, seperti Desa Tuwel Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal, yang akhir Februari 2013 dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jangankan mencari ribuan hektare tanaman bawang putih seperti era 1980-an, sekarang ini  mencari belasan hektare saja sangat sulit. Komunitas ’’arisan haji’’ yang dulu sangat dibanggakan sebagai simbol kemakmuran petani bawang putih Desa Tuwel, kini tinggal kenangan.

Insentif harga yang cukup menarik saat ini diharapkan akan menjadi momentum kebangkitan bawang putih Desa Tuwel dan sentra-sentra produksi sayuran lainnya di Indonesia. Menurut ekonom Peter Timer, harga jual komoditas pertanian yang memadai akan menjadi insentif utama bagi petani untuk meningkatkan produksi. Bahkan, jika harga menjanjikan, petani sayuran tidak segan-segan untuk melakukan budi daya di luar musim kendati berisiko cukup besar.

Semua upaya itu tidak cukup, pemerintah juga dituntut segera membenahi data pangan nasional. Selama ini akurasi data pangan secara umum menjadi titik lemah manajemen pangan nasional. Sebagai contoh, pemerintah harus segera membenahi akurasi data jumlah ternak sapi dan kerbau dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas kebutuhan daging. Data populasi ternak dan data elastisitas kebutuhan daging yang tidak akurat diyakini menjadi pangkal gonjang-ganjing harga daging sapi yang berlangsung lebih dari setahun terakhir ini. ● 

Ketergantungan Impor dan Kedaulatan Pangan


Ketergantungan Impor dan Kedaulatan Pangan
Teddy Lesmana ;  Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2013


“Rakyat padang pasir bisa hidup, masak kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masak kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha tolol.“ (Pidato Bung Karno pada Konferensi Colombo Plan di Yogyakarta 1953)

UNGKAPAN Bung Karno 60 tahun yang lalu itu se akan masih sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam konteks kekinian Indonesia menyangkut pemenuhan dan kemandirian pangan kita. Baru­baru ini, persoalan impor sapi kembali menyeruak ke jagat publik di Indonesia seiring dengan adanya dugaan suap impor sapi yang menerpa sebuah partai politik. Terlepas dari soal indikasi adanya tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut, sebenarnya ada persoalan yang sangat krusial terkait dengan persoalan pemenuhan kebutuhan protein hewani yang dalam hal ini daging sapi. Sejatinya, importasi tidak hanya terjadi di sektor peternakan, tetapi bisa dikatakan pada hampir semua komoditas pangan strategis yang dikonsumsi orang banyak.

Untuk mencapai swasembada pangan termasuk daging sapi, pemerintah sejatinya telah melakukan berbagai upaya meski memang tidak mudah di era perdagangan bebas. Upaya tersebut juga tak jarang menghadapi tekanan dari negara lain. Pemerintah dan DPR sebenarnya telah merevisi UU No 7/1996 tentang Pangan. UU Pangan yang baru disahkan pada Oktober 2012 itu, di antaranya, menegaskan Indonesia tidak boleh dikendalikan pihak mana pun dalam hal kebijakan pangan dan impor yang merupakan pilihan terakhir dalam memenuhi kecukupan akan pangan.

Sebelum direvisi, UU tersebut hanya mensyaratkan soal ketahanan pangan dengan ketersediaan stok pangan tanpa memandang dari mana sumbernya termasuk importasi. Oleh karena itu, ketahanan pangan dalam roh UU Pangan yang baru itu harus diperjuangkan dengan lebih membuka kesempatan bagi para petani dan peternak di Indonesia untuk berpartisipasi aktif dan menjadi bagian integral dari upaya mencapai kedaulatan pangan tersebut.

Terkait dengan importasi daging sapi di Indonesia, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi ketergantungan akan impor? Adakah kemungkinan Indonesia bisa membangun kedaulatan pangan sendiri khususnya dalam hal pemenuhan daging sapi?

Untuk melihat seberapa jauh kekuatan Indonesia dalam memenuhi ketersediaan daging dari para peternak lokal dalam kerangka kerja Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014, Kementerian Pertanian telah meminta Badan Pusat Statistik (BPS) menyensus sapi atau yang dikenal dengan Pendataan Sapi Potong Perah dan Kerbau (SPPK) 2011.
Pendataan tersebut juga memiliki urgensi yang sangat mendesak untuk mengetahui sejauh mana Indonesia dapat mewujudkan swasembada daging sapi pada 2014 mendatang.

Berdasarkan hasil sensus tersebut, yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada Juni 2011, Indonesia diketahui memiliki populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, sapi perah 597,1 ribu ekor, dan kerbau 1,3 juta ekor. Jika dirinci menurut daerah, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturutturut ialah Jawa Timur 4,7 juta ekor, Jawa Tengah 1,9 juta, Sulawesi Selatan 984 ribu ekor, NTT 778,2 ribu ekor, Lampung 742,8 ribu ekor, NTB 685,8 ribu ekor, Bali 637,5 ribu ekor, dan Sumatra Utara 541,7 ribu ekor.

Sementara itu, untuk sapi perah, populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor, sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor. Dari sensus tersebut juga diketahui, rumah tangga peternak sapi selama ini umumnya hanya memiliki ternak sebanyak 3-4 ekor.

Di lain pihak, kebutuhan daging sapi di Indonesia tumbuh secara positif seiring dengan semakin meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pada 2011 kebutuhan per kapita 1,9 kg/tahun, pada 2012 mencapai 2,2 kg/ tahun. Bukan tidak mungkin kebutuhan da ging sapi di Indonesia akan naik hingga 7 kg/tahun seperti Malaysia.

Meskipun konsumsi per kapita Indonesia relatif masih rendah ika dibandingkan dengan negara­negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia masih membutuhkan suplai daging sapi paling tidak 448 ribu ton per tahun.

Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85% yang dapat dipenuhi produksi daging sapi lokal. Konsekuensi nya, Indonesia masih harus mengimpor dari negara lain seperti dari Australia dan Amerika Serikat.

Integrasi Tanaman Ternak

Meski peternakan sapi di Indone sia telah berkembang cukup lama, umumnya upaya pemeliharaan sapi di Indonesia masih dijalankan secara konvensional. Usaha peternakan itu dijalankan sebagai usaha sambilan dan belum dikelola dengan pendekatan manajemen usaha ternak yang modern.

Upaya memenuhi ketersediaan daging sapi domestik sebenarnya bisa disandingkan dengan usaha pertanian dan perkebunan seperti padi, tebu, dan kelapa sawit, kemudian residu usaha tani dan kebun tersebut bisa menjadi tambahan pakan ternak.

Kementerian Pertanian sebetulnya sudah mengimplementasikan program sistem integrasi tanaman ternak (SITT) yang juga dijabarkan dalam subsektor perkebunan dengan sistem integrasi sapi­ kelapa sawit (Siska) sejak 2007 lalu. Siska kemudian digalakkan di perkebunan swadaya masyarakat, perusahaan besar swasta, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

Sebagai langkah awal dari program tersebut, pemerintah memberikan bantuan sapi kepada para petani dengan cara bantuan bergulir. Juga, memberikan bantuan kandang dan penyuluhan mengenai masalah pemeliharaan dan pola pakan ternak. Ketika diintegrasikan dengan usaha tani dan perkebunan, sapi yang tadinya dengan pakan utama berupa rumput dicoba dikomplementerkan dalam bentuk menu tambahan pakan ternak yang berasal dari residu usaha perkebunan dan pertanian. Misalnya pakan dari pelepah daun sawit yang dicacah dengan mesin.

Selain itu, limbah kotoran dan urine sapi dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kebun. Dengan integrasi tersebut, kendala permasalahan lahan dan pakan ternak bisa diatasi secara simultan.
Selain itu, limbah ternak tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi untuk penggerak tenaga listrik dan kompor gas untuk memasak. Implementasi konsep itu telah menunjukkan kesuksesan di Provinsi Bengkulu, Riau, dan Kalimantan Tengah. Upaya tersebut bisa mengatasi persoalan keterbatasan lahan yang dapat disandingkan dengan upaya pemaksimalan usaha tani dan perkebunan.

Selain pelaksanaan konsep integrasi tanaman ternak tadi, diperlukan pula dukungan berupa edukasi kepada para petani dan peternak serta penumbuhan kesamaan pijakan (common ground) mulai perbankan, swasta, hingga pemerintah untuk mencapai kedaulatan pangan khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia.

Jika saja konsistensi upaya pemenuhan kebutuhan akan daging sapi dari suplai domestik itu bisa terus dijaga, dan juga dilakukan usaha untuk mempersempit kemungkinan terjadinya perburuan rente dari importasi daging sapi, Indonesia seharusnya sudah mampu berdaulat atas kebutuhan pangan sendiri sehingga apa yang pernah diungkapkan Bung Karno tadi tidak harus selalu terulang kembali. ● 

Are exports good and imports bad for the economy?


Are exports good and imports bad for the economy?
Harry Aginta ;  A Researcher at Bank Indonesia
JAKARTA POST, 15 Maret 2013


The current deteriorating trade balance in developing countries raises a critical question: are exports still reliable for growth? It is a fact that many developing countries overstate the importance of exports; they put the cart before the horse. The correct view on exports, however, is to see that they are just the means, not the goal. 

Indeed, it would be naïve to ignore the experiences over the last two decades, during which only a few countries’ economies have grown quickly without experiencing an increase in the share of domestic output that is exported. China is a good example. Between 1991 and 2011, its per capita gross domestic product (GDP) grew by 9.53 percent. At the same time, its export to GDP ratio (export/GDP) jumped from 16.1 percent in 1991 to 31.4 percent in 2011. 

From this kind of evidence we are tempted to conclude that exports generally lead to or stimulate growth. Yet, this would be erroneous logic. The other side of the coin reveals a mirror image. During the same period, only a few countries that experienced a large rise in export/GDP achieved higher than 2 percent per capita GDP growth — taking 2 percent as the benchmark of modest success. 

Brazil’s export/GDP jumped 45 percent over the past two decades, while its per capita GDP grew slowly at 1.75 percent. Some even suffered negative growth, like Gabon where a 40.2 percent increment in export/GDP was canceled out by -0.15 percent per capita growth. Here we have provided justification to support the premise: Although countries that grow fast tend to experience rising export/GDP, the reverse is not generally true. 

Another misconception about exports may be due to the so-called Bretton Woods’ institutional reports. It has become commonplace in recent economic reports to claim that exports are a source of learning and positive technological externality for the home country that allow domestic producers to learn from the more advanced global markets. 

But, what does the evidence show? Many studies find that exporting firms are indeed technologically more dynamic, tend to have larger production capacities that better utilize economy of scale, employ a mix of better-skilled workers, and generally outperform non-exporting firms. In most cases, export firms have a comparative advantage (greater efficiency) in their production processes and they believe that this advantage enables them to profit in offshore markets. This suggests that firms carry out self-selections into exporting activities, i.e. efficient producers are more likely to enter export markets. 

A study by Aw, Chang and Roberts (1998) in Taiwan and South Korea found little evidence that learning from exports had occurred in either country. Specifically, there was no evidence that firms with continuous export experience recorded greater productivity than those firms that never exported. Thus, in general, causality goes from productivity to exports, not the other way around. 

What really needs to be emphasized is importation. Don’t get me wrong; I’m not saying exportation is meaningless. However, imports benefit growth in at least two ways: importing ideas and importing investment and intermediate goods. 

The new growth theory stresses the importance of human capital in the growth process. In another expression, human capital is often considered as the soul of growth, an idea. From a supply point of view, ideas on organizing the process of production, manufacturing new products, and identifying a latent demand for a commodity are central to economic growth. And this is the beauty of imports; that a home country can “borrow” ideas from others. The wheel does not have to be reinvented in every country. South Korea and Taiwan have been very successful at importing ideas despite wide-ranging trade restrictions throughout the 1960s and 1970s. 

The second powerful element of imports is importing investment, goods and intermediate goods. For most successful developing countries, raising the long-term growth rate requires an increase in the investment rate. 

However, these countries lack a comparative advantage in producing capital goods. This is also true for intermediate goods, even though the relationship with growth is less direct. 

In any modern economy, production of manufactured goods relies on a wide range of specialized inputs, many of which exhibit increasing returns to scale. Again, developing countries most likely cannot rely on a domestic supply of specialized intermediate inputs. Hence, for both investment and intermediate goods, imports are the second-best way to do so, not to mention with minimal import restrictions. 

But, this is important. Successful countries like South Korea and Taiwan benefited from imports in quite a short time frame and transformed what they had gained into larger capacity in domestic industries. 
An interesting question then arises: Has Indonesian industries benefited from imports in the same way? 

Since the first quarter in 2012, Indonesia’s current account has been in deficit. Besides an annoying loss from oil imports, the shrinking global economy seems to have been made the scapegoat. 

If the two elements of imports mentioned above had sufficiently strengthened our domestic industries, we could still expect stable growth with a sustainable current account surplus, despite the worldwide slowdown, and solid domestic demand as we now have. That’s the only way for imports to be good. ● 

Upaya Pemanfaatan Brain Drain Indonesia


Upaya Pemanfaatan Brain Drain Indonesia
Taruna Ikrar  ;  Staf Akademik University of California, Amerika Serikat;
Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional
KORAN TEMPO, 15 Maret 2013

  
Brain drain dalam istilah umum berarti arus tujuan para ilmuwan dan orang-orang pintar di dunia. Brain drain merupakan arus modal sumber daya manusia (SDM) yang andal. Dalam pemahaman imigrasi, brain drain menunjukkan adanya kelompok besar individu yang memiliki keterampilan teknis atau pengetahuan, yang berpindah dari suatu negara ke negara lain. Perpindahan tersebut biasanya dengan berbagai alasan, yang meliputi dua aspek yang masing-masing berasal dari negara ataupun dari individu yang bersangkutan. 
Brain drain Indonesia memiliki potensi orang-orang cerdas dan pintar di bidangnya. Sebagai contoh, menurut data Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, sekitar 7.000 PhD, master, bahkan profesor, tersebar di seluruh dunia, dalam berdiaspora dan berkarier di luar tanah air Indonesia. Orang-orang potensial dan pintar ini bertahan di berbagai belahan dunia, dan tidak kembali ke Indonesia, dengan berbagai alasan. Namun, apa pun alasannya, orang-orang pintar ini merupakan potensi Indonesia yang tak ternilai harganya. Bangsa Indonesia selayaknya memanfaatkan keberadaan mereka di berbagai negara maju dewasa ini.
Untuk memanfaatkan brain drain Indonesia, mungkin kita bisa belajar dari Amerika Serikat dalam memanfaatkan brain drain. Semboyan Amerika adalah destinasi bagi orang-orang pintar, yang disemboyankan sebagai "Dream of America". Tentunya, semua bangsa di dunia mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia, demikian pula Amerika Serikat, memproklamasikan diri dengan jargonnya, "American Dream". 
"American Dream" adalah etos nasional Amerika Serikat, dalam upaya mengimplementasikan cita-cita nasionalnya, demi kebebasan seluruh tumpah darah dan masyarakat Amerika Serikat. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan untuk mendapatkan kesempatan demi kemakmuran dan kesuksesan yang dicapai melalui kerja keras. Dalam istilah yang lebih nyata, "hidup harus lebih baik, lebih sukses, dan lebih paripurna untuk semua orang, dengan tidak membeda-bedakan kelas sosial atau asal-usul". Ide dari "American Dream" berakar dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa "semua manusia diciptakan sama" dan bahwa mereka "diberkati oleh Pencipta mereka dengan hak mutlak tertentu" termasuk hak "hidup, kebebasan, dan kebahagiaan".
Dalam perkembangannya, "American Dream" menyiratkan kesempatan bagi seluruh masyarakat Amerika untuk mencapai kemakmuran, termasuk kesempatan bagi anak-anak untuk tumbuh dan menerima pendidikan yang baik dan karier tanpa hambatan. Amerika Serikat merupakan negara para imigran. Mayoritas penduduknya adalah pendatang, sehingga sangat terasa di negeri, suasana tanpa membeda-bedakan berdasarkan kelas, kasta, agama, ras, atau etnis, termasuk para imigran. 
Aspirasi "American Dream" dalam arti luas menunjukkan mobilitas yang sistematis dan diarahkan ke seluruh penjuru dunia, dalam semua bidang. Misalnya: bisnis, agama, filantropi, Hollywood, serikat buruh, dan lembaga kepresidenan Washington, dalam menjangkau dunia dengan cara yang demokratis. Dengan strategi yang luar biasa canggihnya: dalam untaian kalimat "visi kemajuan sosial global, visi demokratis dunia, dan keberdayaan dunia", yang dibungkus oleh komponen utama: (1) keyakinan bahwa negara-negara lain bisa dan mampu mereplikasi pengalaman kemajuan Amerika, (2) kemajuan berwirausaha, (3) dukungan untuk akses bagi keterbukaan perdagangan dan investasi, (4) promosi aliran bebas informasi dan budaya, serta (5) pemerintah akan melindungi perusahaan swasta dan merangsang serta mengatur partisipasi Amerika dalam pertukaran ekonomi dan budaya internasional.
Dengan konsep di atas, berbondong-bondonglah seluruh ahli, ilmuwan, pakar, dan orang-orang potensial memasuki Amerika. Dan keberadaan orang-orang hebat tersebut dipermudah untuk memiliki izin tinggal, permanent resident (Green Card),bahkan kemudahan untuk berpindah kewarganegaraan.
Kondisi seperti di atas akan secara spontan menjadi magnet atau daya tarik yang luar biasa bagi orang-orang pintar di dunia, untuk memasuki Amerika Serikat. Dengan demikian, ratusan ribu hingga jutaan doktor atau PhD bermimpi untuk melanjutkan pendidikan, berkarier, bahkan menetap dan menjadi warga negara Amerika. 
Dampak dari kondisi tersebut, tak diragukan lagi, lebih dari 50 persen (338 orang) penerima Hadiah Nobel menetap di AS. Demikian pula mayoritas universitas-universitas terbaik di dunia berada di Amerika Serikat (70 dari 100 universitas terbaik di dunia berada di Amerika Serikat). Demikian pula, terjadi ledakan teknologi informasi, digital, komputer, dan pelayanan kesehatan di Amerika Serikat. Ini semua tak terlepas dari dan merupakan dampak positif brain drain tersebut di atas. Amerika Serikat menjadi seperti surganya orang-orang pintar di dunia.
Apa yang bisa kita petik dari brain drain tersebut, untuk menjadi motivasi dan membangun suatu strategi bagi kemajuan Indonesia? Sebetulnya, Indonesia dapat memetik manfaat juga, dari para pakar, atau ilmuwan, profesor, atau orang-orang Indonesia yang telah menetap, bahkan telah menjadi warga negara, di AS. Yaitu menjadikan mereka sebagai duta, untuk melakukan transfer teknologi, transfer pengetahuan, transfer budaya, hingga transfer dolar sebagai devisa negara. Demikian pula, menjadikan mereka sebagai agen Indonesia yang tersebar di negara-negara maju, untuk melanjutkan transformasi, demi kemajuan Indonesia tercinta. Sebab, tidak bisa dimungkiri, di dalam batin dan sanubari mereka, terpatri rasa cinta yang mendalam, rasa rindu yang luar biasa, bahkan suatu keyakinan dan kemauan keras untuk berbuat demi kemajuan di tanah air tercinta. ● 

Brain Drain Indonesia


Brain Drain Indonesia
Taruna Ikrar  ;  Staf Akademis Universitas Kalifornia, AS;
Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional
REPUBLIKA, 18 Maret 2013
Brain drain atau dalam istilah umum berarti arus tujuan para ilmuwan dan orang-orang pintar di dunia. Sehingga brain drain merupakan arus modal sumber daya manusia (SDM) yang andal. Dalam pemahaman imigrasi menunjukkan adanya kelompok besar individu yang memiliki keterampilan teknis atau pengetahuan yang berpindah dari suatu negara ke negara lainnya. Perpindahan tersebut biasanya dengan berbagai alasan, yang meliputi dua aspek yang masing-masing berasal dari negara ataupun dari individu yang bersangkutan.

Berbicara tentang brain drain, Indonesia memiliki potensi orang-orang cerdas dan pintar di bidangnya. Sebagai contoh, menurut data Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, sekitar 7.000 PhD, master, bahkan profesor asal Indonesia yang tersebar di seluruh dunia, dalam berdiaspora dan berkarier di luar Tanah Air. Orang-orang potensial dan pintar ini bertahan di berbagai belahan dunia, dan tidak kembali ke Indonesia, dengan berbagai alasan. Namun, apa pun alasannya, orang-orang pintar ini merupakan potensi Indonesia yang tak ternilai harganya. Olehnya bangsa Indonesia selayaknya memanfaatkan keberadaan mereka di berbagai negara maju dewasa ini. 

Untuk memanfaatkan brain drain Indonesia, mungkin kita bisa belajar dari Amerika Serikat (AS) dalam memanfaatkan brain drain, atau orang-orang pintar dari berbagai belahan dunia, dengan tujuan menjadikan AS sebagai destinasi bagi orang orang pintar, yang disemboyankan Dream of America. Tentunya, semua bangsa di dunia mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia, demikian pula Amerika Serikat, memproklamasikan diri dengan jargonnya, American Dream.

American Dream ini adalah etos nasional Amerika Serikat, dalam upaya mengimplementasikan cita-cita nasionalnya demi kebebasan seluruh tumpah darah dan masyarakat Amerika Serikat. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan untuk mendapatkan kesempatan demi kemakmuran dan kesuksesan yang dicapai melalui kerja keras.

Dalam istilah yang lebih nyata, hidup harus lebih baik, lebih sukses, dan lebih paripurna untuk semua orang, dengan tidak membeda-bedakan kelas sosial atau asal usul. Ide dari American Dream berakar dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan sama dan bahwa mereka diberkati oleh Pencipta mereka dengan hak mutlak tertentu, termasuk hak hidup, kebebasan, dan kebahagiaan. 

Dalam perkembangannya American Dream menyiratkan kesempatan bagi seluruh masyarakat Amerika untuk mencapai kemakmuran, termasuk kesempatan untuk anak-anak tumbuh dan menerima pendidikan yang baik serta berkarier tanpa hambatan. Amerika Serikat merupakan negara para imigran. Mayoritas penduduknya adalah pendatang, sehingga sangat terasa suasana di dalam negeri yang tidak membeda-bedakan berdasarkan kelas, kasta, agama, ras, atau etnis, termasuk para imigran. 

Aspirasi American Dream dalam arti luas menunjukkan mobilitas yang sistematis dan diarahkan ke seluruh penjuru dunia dalam semua bidang, misalnya, bisnis, agama, filantropi, perfilman, serikat buruh, dan lembaga kepresidenan dalam menjangkau dunia dengan cara yang demokratis. Strategi nya juga luar biasa canggih.

Strategi itu tecermin dalam untaian kalimat visi kemajuan sosial global, visi demokratis dunia, dan keberdayaan dunia yang dibungkus oleh komponen utama: (1) keyakinan bahwa negara- negara lain bisa dan mampu mereplikasi pengalaman kemajuan Amerika, (2) kemajuan berwirausaha, (3) dukungan untuk akses bagi keterbukaan perdagangan dan investasi, (4) promosi aliran bebas informasi dan budaya, dan (5) pemerintah akan melindungi perusahaan swasta dan merangsang juga mengatur partisipasi Amerika dalam pertukaran ekonomi dan budaya internasional. 

Dengan konsep di atas, maka berbondong-bondonglah seluruh ahli, ilmuwan, pakar, dan orang-orang potensial memasuki Amerika, dan keberadaan orang-orang hebat tersebut dipermudah untuk memiliki izin tinggal (permanent resident/Green Card), bahkan kemudahan untuk berpindah warga negara. Kondisi yang seperti di atas, akan secara spontan menjadi magnet atau daya tarik yang luar biasa bagi orang-orang pintar di dunia, untuk memasuki Amerika Serikat. Ratusan ribu hingga jutaan doktor atau PhD bermimpi untuk melanjutkan pendidikan, berkarier, bahkan menetap dan menjadi warga negara Amerika.
Kondisi ini, dalam istilah umum, disebut brain drain, aliran orang-orang pintar datang ke Amerika Serikat. Dampak dari kondisi tersebut, maka tak diragukan lagi, lebih 50 persen (338 penerima Nobel Prize menetap di AS), demikian pula berdampak dengan mayoritas universitas-universitas terbaik di dunia berada di Amerika Serikat (70 dari 100 universitas terbaik di dunia berada di AS). Demikian pula, terjadi ledakan teknologi informasi, digital, komputer, dan pelayanan kesehatan di Amerika Serikat. 

Ini semua tak terlepas dan merupakan dampak positif brain drain tersebut di atas. Amerika Serikat menjadi seperti surganya orang-orang pintar di dunia.
Selanjutnya, dengan kondisi tersebut, kita bisa punya perspektif lain dalam melihat kemajuan di Tanah Air Indonesia tercinta. Apa yang bisa kita petik dengan kemajuan tersebut untuk selanjutnya menjadi motivasi dan membangun suatu strategi demi kemajuan Indonesia yang dipetik dari brain drain ini. 

Sebetulnya, Indonesia dapat memetik manfaat juga dari para pakar atau ilmuwan, profesor, atau orang-orang Indonesia yang telah menetap, bahkan telah menjadi warga negara di AS. Yaitu, menjadikan mereka sebagai duta untuk melakukan transfer teknologi, transfer pengetahuan, transfer budaya, hingga transfer dolar sebagai devisa negara. 

Demikian pula, menjadikan mereka sebagai agen Indonesia yang tersebar di negara-negara maju untuk melanjutkan transformasi demi kemajuan Indonesia tercinta. Karena, tidak bisa dimungkiri, di dalam batin dan sanubari mereka, terpatri rasa cinta yang mendalam, rasa rindu yang luar biasa, bahkan suatu keyakinan dan kemauan keras untuk berbuat demi kemajuan di Tanah Air tercinta. ●